Pendanaan kesehatan jiwa di Indonesia masih berada pada posisi yang sangat terbatas jika dibandingkan dengan beban dan jumlah kasus gangguan kesehatan jiwa yang terus meningkat. Data menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan jiwa hanya sekitar 0,0088% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih jauh di bawah standar negara-negara lain di Asia dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan proporsi pendanaan minimal 5% dari total anggaran kesehatan. 

Masih dominannya pembiayaan kesehatan jiwa yang dialokasikan untuk perawatan di rumah sakit jiwa membuat pelayanan berbasis komunitas dan primer menjadi kurang berkembang secara optimal. Kondisi ini diperparah oleh distribusi yang tidak merata dan keterbatasan ketersediaan tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, khususnya di daerah terpencil. Risiko ekonomi yang timbul juga signifikan, dengan dampak produktivitas yang hilang akibat gangguan jiwa senilai triliunan rupiah setiap tahunnya. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara beban masalah kesehatan jiwa yang dihadapi masyarakat dan sumber daya finansial yang disediakan untuk penanganannya di Indonesia.​

Peluang dan Upaya Mengoptimalkan Pendanaan Kesehatan Jiwa

Menghadapi keterbatasan pendanaan, perlu ada upaya strategis untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada. Salah satu poin krusial adalah memperkuat alokasi dana untuk pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas dan primer, termasuk pengembangan Puskesmas sebagai garda terdepan. Pemerintah dapat mengupayakan peningkatan dana melalui kebijakan anggaran daerah (APBD) yang lebih terfokus pada kesehatan jiwa serta memperluas peran jaminan nasional melalui BPJS Kesehatan yang kini mencakup layanan kesehatan jiwa. 

Selain itu, model pembiayaan inovatif seperti alokasi dana “ring-fenced” dapat menjadi peluang untuk diadopsi, dengan prinsip pembiayaan yang secara khusus dialokasikan untuk satu program tertentu sehingga mengurangi potensi dana teralihkan untuk pengembangan program lain yang mendesak, hal ini dapat membantu pemerintah dalam menjamin keberlanjutan program. 

Pada aspek ketenagakerjaan, konsep insentif return to work, dimana karyawan dengan status yang masih “tidak fit” upahnya tidak wajib dibayarkan oleh perusahaan, melainkan menjadi tanggungan jaminan sosial atau asuransi kesehatan. Dalam penerapannya, perlu adanya pedoman teknis yang komprehensif antar lintas stakeholder yaitu Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, dan Perusahaan terkait. Konsep ini memungkinkan beban pembiayaan akibat gangguan jiwa menjadi terbagi rata.

Hal penting lain adalah meningkatkan kapasitas dan distribusi tenaga kesehatan jiwa, termasuk psikolog klinis di Puskesmas dan tenaga non-spesialis yang dilatih melakukan skrining dan edukasi kesehatan jiwa. Advokasi kebijakan yang mempertimbangkan kesehatan jiwa sebagai prioritas nasional juga sangat penting, termasuk penguatan regulasi seperti Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun  2023 yang menempatkan kesehatan jiwa dalam sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh.​

Strategi Pelayanan Kesehatan Menghadapi Pendanaan yang Terbatas

Pelayanan kesehatan jiwa harus menerapkan strategi adaptif untuk mengatasi keterbatasan pendanaan. 

  1. Pertama, mengoptimalkan pendekatan layanan primer dengan memperkuat integrasi kesehatan jiwa pada Puskesmas dan layanan komunitas sebagai upaya preventif dan kuratif tahap awal, karena biaya layanan primer relatif lebih efisien dibandingkan perawatan rumah sakit. 
  2. Kedua, melaksanakan skrining dini dan program rujuk balik untuk menurunkan beban layanan di rumah sakit dan meningkatkan kelangsungan perawatan.
  3. Ketiga, Mengoptimalkan obat psikofarmaka bagi kasus jiwa. Pemerintah telah menetapkan obat psikofarmaka yang didasarkan pada bukti ilmiah dan Formularium Nasional (Fornas) yang diharapkan dapat mengefektifkkan pembiayaan.

Keputusan alokasi dana yang terbatas ini sebagian didasari oleh kesehatan jiwa yang selama ini belum sepenuhnya menjadi prioritas dalam kebijakan nasional yang masih didominasi oleh penanganan penyakit fisik akut. 

Ada faktor lain seperti keterbatasan sumber daya manusia, minimnya data dan bukti hingga stigma yang masih melekat di masyarakat. Namun, dengan transformasi sistem kesehatan melalui UU Kesehatan 2023 dan integrasi digitalisasi layanan di bawah program JKN, terdapat peluang besar untuk memperbaiki akses dan pembiayaan layanan kesehatan jiwa secara berkelanjutan. Implementasi strategi ini akan memerlukan sinergi lintas sektor, penguatan kapabilitas tenaga kesehatan, serta advokasi kebijakan yang lebih progresif untuk pengalokasian dana yang memadai dan tepat sasaran.


Referensi

  1. Mukti, Ghufron (2025). Mental Health For All: Bersinergi Wujudkan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Jiwa yang Berkelajutan [Power Point Slide].
  2. Puspandari, Diah Ayu (2025). Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Gangguan Kesehatan Jiwa dan Rekomendasi Kebijakan Pendanaan [Power Point Slide].
  3. Pambudi, Setyo & Hoesin, Siti Hajati (2022). Program Return To Work Sebagai Bentuk Perlindungan Dan Pelatihan Jaminan Kecelakaan Kerja Bagi Pekerja. Jurnal Ilmiah Indonesia. Vol. 7 No. 8.
  4. https://jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/11675/7265