Menurut Undang Undang No. 17 Tahun 2023, Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Menurut World Health Organization (WHO), konsep kesehatan meliputi seluruh keadaan sejahtera secara fisik, mental dan sosial, bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan. Mengacu pada definisi tersebut kesehatan jiwa merupakan suatu pondasi untuk tercapainya kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Dalam konsep kesehatan jiwa dikenal istilah ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan), ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), dan gangguan jiwa berat. ODMK merujuk pada orang yang memiliki masalah fisik mental, sosial, pertumbuhan, dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan ODGJ merupakan orang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Orang dengan gangguan jiwa berat ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau insight yang buruk. Mengacu pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan, istilah ODGJ dan ODMK telah beralih menjadi “gangguan jiwa” karena dinilai lebih netral dan tidak stigmatis.
Secara global, gangguan jiwa merupakan kontributor terbesar suatu penyakit yang berdampak bagi kualitas hidup seeorang (Years lived with disability/YLDs), dengan presentase sebesar 14,4%, bahkan angka tersebut lebih tinggi dari penyakit kardiovaskuler dan kesehatan ibu dan bayi. Situasi Nasional beban penyakit di Indonesia pada tahun 2017 menggambarkan kondisi gangguan mental yang berada pada peringkat tertinggi dengan kategori YLDs sebesar 13,4% (data dari Institute for Heath Metrics and Evaluation, 2017).
Permasalahan kesehatan jiwa merupakan hal yang tidak bisa disepelekan, menurut WHO orang dengan gangguan jiwa memiliki resiko lebih tinggi untuk terpapar penyakit kronis lain, dan mengalami kecacatan hingga kematian. Beberapa kelompok yang rentan menderita gangguan jiwa meliputi rumah tangga yang hidup dalam kemiskinan, orang dengan kondisi kesehatan kronis, anak dan bayi yang ditelantarkan dan mendapatkan penganiayaan, remaja yang pertama kali terpapar zat aditif, kelompok minoritas, masyarakat pribumi, lansia, orang dengan pengalaman diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia, lesbian, gay, biseksual, orang dengan gangguan transgender, tawanan, serta orang yang terpapar konflik, bencana, dan kedaruratan kemanusiaan. Selain itu gangguan mental dan angka bunuh diri semakin meningkat akibat munculnya kelompok rentan baru, misalnya pengangguran muda. Di banyak masyarakat, gangguan mental yang terkait dengan marginalisasi dan pemiskinan, kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga, serta kerja berlebihan dan stres menjadi perhatian yang semakin meningkat, terutama bagi kesehatan perempuan.
Masalah yang cukup kompleks terkait urgensi permasalahan kesehatan jiwa dan tindakan penanganannya. Hal ini disebabkan masih adanya kesenjangan yang cukup besar antara kebutuhan dan perawatan, sehingga 76% – 85% orang dengan gangguan mental berat belum menerima perawatan, khususnya di negara berpenghasilan menengah dan rendah (WHO, Mental Health Atlas 2020). Terlebih kualitas perawatan bagi mereka yang menerima perawatan masih dinilai buruk. Jika rantai ini tidak diputus maka konsekuensi ekonomi dari kerugian kesehatan ini juga besar, sebuah studi baru-baru ini memperkirakan bahwa dampak global kumulatif dari gangguan mental dalam hal hilangnya output ekonomi akan mencapai US$ 16,3 triliun antara tahun 2011 dan 2030 (WHO, Comprehensive Mental Health Action Plan 2013-2030).
Pada Program Indonesia Sehat terdapat 12 indikator utama yang menjadi penanda status kesehatan sebuah keluarga, salah satunya terkait dengan penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan. Kementerian Kesehatan berupaya secara masif untuk mewujudkan indikator tersebut melalui penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa pada puskesmas dan rumah sakit. Adapun capaian ini tetap perlu pendampingan dan pemantauan agar distribusinya merata dan terkendali.
Source: