Kementerian Kesehatan telah mengubah empat kebijakan dasar dalam pelayanan kesehatan jiwa, yaitu: pergeseran sistem pelayanan dari berbasis rumah sakit ke berbasis komunitas; memberikan akses perawatan bagi pasien gangguan jiwa di seluruh fasilitas kesehatan; memungkinkan pasien gangguan jiwa menerima perawatan rawat jalan tanpa perlu menginap di bangsal rumah sakit; serta mendorong pasien untuk mencapai kemandirian dalam menjalani kehidupannya.
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan primer memegang peranan kunci dalam pelaksanaan program kesehatan jiwa, mulai dari implementasi hingga evaluasi keberhasilan program. Sejak dimasukkannya kesehatan jiwa ke dalam 18 program prioritas, Puskesmas memiliki andil terhadap implementasi, ketercapaian, hingga analisis evaluasi tingkat keberhasilannya. Tentu, Keberhasilan program sangat bergantung pada berbagai faktor, tidak hanya dari Puskesmas, sehingga evaluasi yang komprehensif diperlukan untuk mengidentifikasi kendala dan merumuskan perbaikan.
Survei Data Kesehatan Jiwa di Masyarakat
Ruang lingkup kerja Puskesmas mencakup setiap kecamatan di wilayah kabupaten/kota. Isu utama adalah memastikan pendataan kesehatan jiwa masyarakat dapat dilakukan secara merata dan sistematis di seluruh wilayah kerja. Data ini menjadi dasar penting dalam merancang dan mengimplementasikan program kesehatan jiwa di Puskesmas. Selanjutnya, data tersebut menjadi acuan dalam merancang program dan upaya kesehatan jiwa dalam menunjang Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Puskesmas.
Skrining Kesehatan Jiwa
Deteksi dini atau skrining kesehatan jiwa adalah proses identifikasi sistematis untuk mendeteksi faktor risiko gangguan kesehatan jiwa individu. Instrumen yang umum digunakan antara lain Self Reporting Questionnaire (SRQ) dan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Untuk responden lansia usia 59 tahun ke atas, digunakan instrumen Geriatric Depression Scale (GDS).
Hasil skrining dapat menunjukkan dua kemungkinan: jumlah kasus tinggi sebagai indikasi pelaksanaan skrining yang menyeluruh serta meningkatnya kesadaran kesehatan jiwa di masyarakat; atau jumlah kasus rendah karena skrining yang belum optimal, atau kondisi kesehatan jiwa masyarakat yang relatif baik.
Pengoptimalan Peran Kader Kesehatan Jiwa
Transformasi pelayanan kesehatan jiwa dari berbasis rumah sakit ke komunitas menempatkan kader sebagai aktor utama dalam pelaksanaan program. Kader yang memiliki kedekatan dan pengaruh strategis di masyarakat berperan sebagai penghubung antara Puskesmas dengan warga serta pemangku kepentingan lainnya. Kader perlu dibekali dengan pengetahuan teknis terkait survey data sederhana, skrining menggunakan instrumen yang mudah dipahami, hingga materi dan metode edukasi mengenai kesehatan jiwa secara umum. Sebagai pendorong perubahan perilaku, kader berperan penting dalam membantu mengurangi stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa. Peran-peran strategis ini diharapkan dapat terus dioptimalkan melalui program peningkatan kapasitas dari Puskesmas.
Penyediaan Psikolog Klinis untuk Menunjang Penanganan Primer
Untuk memaksimalkan integrasi layanan kesehatan jiwa di pelayanan primer, psikolog klinis memegang peran strategis dalam fasilitas Puskesmas maupun di luar. Di Puskesmas, psikolog melayani konseling untuk calon pengantin, pendampingan psikologi geriatri bagi lansia, dan terapi untuk pasien psikotik dengan risiko kekambuhan tinggi. Di luar Puskesmas, psikolog klinis berkolaborasi lintas sektor dalam penanganan kasus kesehatan jiwa. Mereka juga menjalankan fungsi public health nursing, memberikan edukasi penggunaan obat kepada keluarga pasien, melakukan pelacakan kasus skizofrenia, dan melakukan anamnesa untuk menggali keluhan pasien.
Penyediaan Obat-Obatan Esensial untuk Gangguan Jiwa
Obat-obatan esensial sangat penting dalam tatalaksana gangguan jiwa, terutama pada layanan primer untuk kondisi yang tidak dapat ditangani hanya dengan pendekatan promotif, preventif, atau rehabilitatif. Obat-obatan jiwa atau Psikofarmaka terdiri dari:
- Anti-Psikotik (Haloperidol, Trifluoperazin, Klorpromazin, Flufenazin, Quetiapin, Olanzapin, Risperidone, Aripiprazol);
- Anti-Ansietas (Alprazolam, Lorazepam, Diazepam, Klobazam);
- Anti-Depresan (Amitriptilin, Imipramin, Maprotilin, Fluoksetin, Escitalopram, Sertraline, Fluvoxamine, Klomipramin);
- Anti-Mania (lithium).
Ketersediaan obat jiwa atau psikofarmaka diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, yang menjamin akses terapi yang sesuai dan aman.
Referensi:
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2023. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
- Marchira, C. R. (2011). Integrasi Kesehatan Jiwa Pada Pelayanan Primer Di Indonesia: Sebuah Tantangan Di Masa Sekarang. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 14(03), 120–126.
- Elmi Astrabel. (2025). Implementasi Program Kesehatan Jiwa Di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Wilayah Kerja Kota Pekanbaru Tahun 2024. Jurnal Kesehatan Madani Medika, 15(2), 189-198. https://doi.org/10.36569/jmm.v15i02.414
- Priasmoro, D. P., Asri, Y., & Soebagijono. (2025). Penguatan Kompetensi Tenaga Kesehatan dalam Skrining Awal Gangguan Kesehatan Jiwa: Upaya Menuju Masyarakat Sehat di Puskesmas Bantur. Kolaborasi: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 5(4), 515–522. https://doi.org/10.56359/kolaborasi.v5i4.546
- Idaiani, S., & Riyadi, E. I. (2018). Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia: Tantangan untuk Memenuhi Kebutuhan. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 2(2).
- Hidayati, E., Fitrikasari, A., Sakti, H., & Dewi, N. S. (2024). Penyegaran Kader Kesehatan Jiwa untuk Meningkatkan Pengetahuan Kader tentang Kesehatan Jiwa. Jurnal Pengabdian Dan Pemberdayaan Kesehatan, 1(1), 1–9. https://doi.org/10.70109/jupenkes.v1i1.1