Press ESC to close

Indonesia’s Mental Health Emergency: Broken System or Lack of Willpower?
Tribute to Seri Webinar #1 Kesehatan Jiwa “Darurat Kesehatan Jiwa di Indonesia:
Siapa Saja yang Harus Terlibat?”

Pencabutan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa yang kemudian dilebur ke dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan mengubahnya menjadi peraturan yang ringkas dengan mempersingkat 91 pasal menjadi hanya 12 pasal. Apakah peleburan ini dapat berlaku dengan efektif, atau justru menjadi berpengaruh pada kekuatan regulasi kesehatan jiwa di Indonesia?

Isu kesehatan jiwa di Indonesia seolah masih menyimpan banyak catatan, di tengah masifnya upaya pemerintah dan lintas sektoral. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pergerakan regulasi kesehatan jiwa belum sepenuhnya terselenggara dengan baik dan komprehensif. Dilansir dari laporan rencana aksi kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA periode 2020-2024 Kementerian Kesehatan, regulasi kesehatan jiwa belum menjadi program prioritas pada beberapa penyelenggara kesehatan, sehingga sering terjadi ketidaksinambungan regulasi dan kebijakan bidang kesehatan jiwa antara pihak pusat dan daerah. Selain itu anggaran dalam rangka pencegahan dan pengendalian kesehatan jiwa masih terbatas, hal ini dipengaruhi oleh komitmen pengambil kebijakan terhadap program kesehatan jiwa yang belum optimal. 

Di samping isu terkait regulasi, darurat kesehatan jiwa di Indonesia juga didorong oleh permasalahan ketersediaan dan pemerataan tenaga kesehatan jiwa (psikiater, psikolog klinis, dan lain-lain) yang masih jauh dari standar ideal WHO yang mensyaratkan rasio 1:30.000 per jumlah penduduk. Minimnya jumlah ini juga diperburuk dengan distribusi tenaga kesehatan jiwa yang mayoritas berada di kota besar, sehingga beban psikiater dan psikolog klinis yang berada di kota dengan kategori menengah cenderung terpencil menjadi sangat besar. 

Stigma negatif yang masih terpatri pada benak masyarakat mengindikasikan bahwa terbatasnya pengetahuan terkait kesehatan jiwa, dimana hal ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya distribusi layanan kesehatan jiwa karena merasa malu dan sungkan kepada orang di sekitar. Pengetahuan akses ke layanan kesehatan mental melalui BPJS kesehatan juga belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh komunitas kesehatan jiwa Indonesia Into The Light, bahwa 7 dari 10 orang belum mengetahui bahwa BPJS Kesehatan dapat menanggung akses layanan kesehatan mental.

Sebuah tantangan besar untuk mengintegrasikan isu penanganan kesehatan jiwa ke dalam sistem kesehatan secara menyeluruh. Sebagai institusi pendidikan dan kebijakan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM terdorong untuk menyelenggarakan Seri Webinar #1 Kesehatan Jiwa “Darurat Kesehatan Jiwa di Indonesia: Siapa Saja yang Harus Terlibat?”. Webinar tersebut bertujuan untuk membahas dan berdiskusi lebih lanjut terkait regulasi kesehatan jiwa serta pergerakannya pada sistem kesehatan.

Pastikan Anda menjadi bagian dari saksi keberlanjutan isu penanganan kesehatan jiwa, segera registrasikan diri pada link di bawah ini (AO).


LINK REGISTRASI WEBINAR


Source:

  1. Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA. 2020. Rencana Aksi Kegiatan 2020-2024.
  2. Direktorat Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan. 2022. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2022.
  3. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2023. Atasi Masalah Kesehatan Jiwa, Kemenko PMK Dorong Upaya Preventif dari Hulu.
  4. Into The Light Indonesia. (2021). Seri Laporan ke-1: Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental di Indonesia 2021 – Hasil Awal. Jakarta: Into The Light Indonesia. Diunduh dari www.intothelightid.org.
  5. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. 2023. Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis: Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia. Sulis Winurini. Vol. XV, No. 20/II/Pusaka/Oktober/2023