Reportase Sesi 2
Festival #SehatJiwa
Seminar Nasional dalam Rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia “Sehat Mental di Era Digital”
PKMK-Yogyakarta. Talkshow pada sesi kedua (9/10/2025), ledakan teknologi digital kini kian terasa dalam kehidupan sehari-hari. Informasi bergerak begitu cepat, menghubungkan jutaan orang hanya dalam hitungan detik. Lebih dari separuh penduduk Indonesia, atau sekitar 138 juta jiwa, tercatat aktif menggunakan media sosial. Fenomena ini menjadikan dunia maya sebagai ruang pertemuan terbesar, tempat masyarakat bertukar informasi, berdiskusi lintas budaya, hingga memperluas wawasan. Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi memberi banyak kemudahan dalam bersosialisasi dan mengakses berbagai informasi penting, termasuk seputar kesehatan.
Namun, di balik derasnya arus digital, terdapat tantangan serius yang tak bisa diabaikan. Fenomena perundungan siber, kebocoran data pribadi, hingga penyebaran informasi palsu menjadi ancaman nyata. Dampaknya tak hanya pada ruang sosial, tetapi juga pada kesehatan mental masyarakat, khususnya generasi muda. Isu ini pun menjadi sorotan utama dalam seminar nasional peringatan Hari Kesehatan Jiwa. Acara tersebut menjadi ruang dialog untuk membahas bagaimana era digital membentuk pola piker dan emosi masyarakat, seta Langkah-langkah konkret dalam menjaga kesehatan jiwa di Tengah derasnya gelombang teknologi.
Tujuan kegiatan ini secara umum untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran berbagai pihak, mulai dari tenaga kesehatan, akademisi, mahasiswa hingga masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah tantangan era digital. Secara khusus, kegiatan ini mendorong peningkatan pemahaman dan kesadaran akan dampak penggunaan media digital terhadap kesehatan jiwa, memperkenalkan metode pencegahan dan penanganannya, serta memperkuat kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan ruang digital yang aman, inklusif, dan mendukung kesehatan mental.

Moderator talkshow kali ini adalah dr. Santi Yuliani, M.Sc., Sp.KJ (K), seorang psikiater konsultan elektrofisiologi dan neuroimaging dari RSJ Prof. dr. Soerojo Magelang yang juga aktif sebagai influencer kesehatan jiwa. Dengan latar belakang pendidikan yang luas, mulai dari Fellow of Consultation Liaison Psychiatry di University of Melbourne, spesialis kedokteran jiwa dan Magister Ilmu Kedokteran Klinik di Universitas Gadjah Mada, hingga pengalamannya menangani pasien jiwa, Santi bukanhanya menyampaikan perspektif klinis, melainkan juga membangun kedekatan dengan audiens lewat bahasa yang mudah dimengerti. Perannya sebagai moderator sangat penting untuk menjaga alur diskusi tetap hidup, mengalir, dan relevan dengan kondisi nyata masyarakat saat ini.

Pembicara pertama, Carolus Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Psi., Psikolog, seorang psikolog dan praktisi mindfulness, membahas tentang bagaimana terapi mindfulness dapat menjadi alternatif penting dalam menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi digital. Latar belakangnya sebagai Ketua Yayasan Wanaprasta Husada Indonesia (foresttherapy.id) dan pendiri komunitas mindfulness di Yogyakarta memperkuat posisinya sebagai praktisi yang dekat dengan masyarakat. Dalam paparannya, Carolus menyoroti bahwa gadget kini menjadi “perpanjangan tangan” kehidupan manusia. Media sosial memang memberikan banyak kemudahan—akses informasi, ruang ekspresi, dan wadah edukasi, namun di sisi lain dapat menimbulkan kelelahan kognitif, kecemasan, fear of missing out (FOMO), adiksi, gangguan tidur, hingga kesulitan mengatur emosi jika digunakan secara tidak sadar. Menurutnya, kunci menghadapi semua itu adalah kembali ke mindfulness atau kesadaran penuh pada saat ini.
Mindfulness bukan berarti menjauh dari teknologi, melainkan menggunakannya dengan kesadaran. Carolus menjelaskan empat prinsip dasar mindfulness: hadir pada saat ini, menerima tanpa menghakimi, berbelas kasih pada diri sendiri, dan mengarahkan fokus dengan sadar. Narasumber juga memaparkan bagaimana teknik mindfulness dapat membantu regulasi emosi, membantu individu mengenali perasaan akibat paparan digital seperti cemas atau iri, kemudian meresponsnya dengan tenang. Selain itu, mindfulness juga membantu meningkatkan fokus, melatih otak untuk single-tasking, serta mengendalikan impuls seperti dorongan untuk terus membuka media sosial. Praktiknya dapat dimulai dari langkah sederhana: digital detox mindful, penggunaan teknologi secara sadar, rutinitas harian yang mindful, dan perawatan diri digital. Pihaknya bahkan mencontohkan bagaimana latihan pernapasan sederhana atau love-kindness mindfulness bisa membantu seseorang keluar dari jebakan FOMO dan banjir informasi.

Hani Kumala, M.Psi., Psikolog Klinis dan praktisi Dialectical Behavior Therapy (DBT), menjadi pembicara berikutnya. Dengan pengalaman klinisnya di RS Abdi Waluyo Jakarta serta keterlibatannya dalam berbagai layanan psikologi, Hani memaparkan DBT sebagai terapi yang menggabungkan mindfulness dengan perubahan perilaku. Terapi ini awalnya dikembangkan untuk menangani klien dengan kecenderungan bunuh diri atau self-harm. Berbeda dari terapi perilaku konvensional, DBT menekankan penerimaan kenyataan sambil mengajarkan keterampilan untuk membuat hidup lebih mudah dijalani. “Semua kehidupan berharga, tetapi tidak semua pengalaman terasa layak dijalani,” ujarnya. DBT membantu klien memahami bahwa keinginan untuk menyakiti diri mungkin muncul, namun dorongan tersebut bisa dikelola dan diarahkan dengan teknik-teknik psikologis yang tepat.
Pelaksanaan DBT bersifat multimodal: terdiri dari terapi individu, pelatihan keterampilan dalam kelompok, coaching melalui telepon jika diperlukan, serta tim terapi lintas profesi. Hani juga menjelaskan kesalahan umum dalam terapi: terlalu cepat mengubah perilaku tanpa memberikan ruang penerimaan, atau sebaliknya, hanya menerima tanpa memberi arah perubahan. Menurutnya, kunci DBT adalah menumbuhkan keyakinan pada klien bahwa mereka mampu melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Fokus DBT meliputi emotion regulation, distress tolerance, dan interpersonal effectiveness. Terapi ini banyak diterapkan pada masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, perasaan gagal akibat perbandingan sosial, rendahnya harga diri, dan kecanduan media sosial. “Tujuan akhirnya bukan menghapus masalah, tapi mencegah masalah semakin memburuk dan membantu klien memiliki hidup yang lebih bermakna,” tegasnya.
Sementara itu, dr. Tirta Mandira Hudhi, M.B.A., seorang dokter dan influencer, sebagai pembicara ketiga, menyoroti fenomena yang makin terasa di masyarakat modern: rentang perhatian terhadap suatu informasi di semua kalangan usia. Kondisi ini membuat orang lebih mudah terpapar hoax dan kesulitan memilah informasi. Menurutnya, ledakan informasi digital telah menciptakan kebingungan kolektif yang berpengaruh pada kesehatan mental, terutama dalam pengambilan keputusan. Pihaknya juga menyoroti maraknya self-diagnose yang terjadi karena akses informasi kesehatan yang luas, termasuk lewat AI. Di satu sisi, ini meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental, namun di sisi lain berisiko menimbulkan kesalahpahaman dan tindakan yang tidak tepat. Menurutnya, penting bagi tenaga profesional untuk menjembatani kesenjangan ini melalui komunikasi publik yang jelas, mudah dipahami, dan kolaboratif lintas bidang.
Sesi diskusi mampu menggali berbagai persoalan nyata dari lapangan. Seorang mahasiswa psikologi mengungkapkan tantangan menghadapi klien yang memilih melarikan diri ke konten digital yang menyenangkan ketimbang menghadapi kenyataan hidup. Carolus menjelaskan bahwa mindfulness tak harus dimulai dari hal berat seperti meditasi panjang. Terapi dapat dimulai dari aktivitas ringan yang disukai klien, seperti menikmati kopi dengan sadar atau scrolling media sosial dengan penuh kesadaran. Ketika hubungan terapeutik sudah terbangun, barulah pendekatan lebih kompleks dilakukan. Hani menambahkan analogi yang mudah dicerna: “Orang haus ingin minum, tapi malah minum kuah bakso, enak sebentar, tapi hausnya tetap ada. Begitu juga pelarian lewat konten digital.”
Dari komunitas ibu-ibu muslim muncul pertanyaan menarik mengenai mindfulness dalam praktik keagamaan. Carolus mengiyakan bahwa wudhu dan sholat dapat menjadi bentuk latihan mindfulness yang sederhana namun kuat. Dengan menyadari air wudhu yang menyentuh kulit, gerakan ibadah, dan pelafalan bacaan secara perlahan, seseorang dapat mengembalikan fokus dan ketenangan batin. Hani menambahkan bahwa penggunaan media seperti pesan WhatsApp atau musik religius juga bisa menjadi bagian dari DBT atau mindfulness selama mendukung regulasi emosi dan kesadaran diri.
Perwakilan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia mengangkat isu serius: 70% orang yang melakukan bunuh diri tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental. Fenomena self-diagnose dan rendahnya health seeking behavior menjadi hambatan besar. Carolus menyarankan pentingnya peran komunitas sebagai pintu awal, tempat orang merasa aman sebelum akhirnya dirujuk ke tenaga profesional. Hani menegaskan bahwa edukasi publik menjadi langkah krusial untuk mencegah kesalahan arah dalam memahami kesehatan mental.
Seorang peserta dari Universitas Gadjah Mada juga mengusulkan agar terapi kesehatan mental tidak hanya berpijak pada teori Barat, melainkan juga melibatkan sumber-sumber pengetahuan lokal dan spiritualitas. Carolus menyambut hal ini dengan antusias, menegaskan bahwa mindfulness bukan milik satu budaya. Nilai-nilai lokal dan agama dapat menjadi bagian integral dari terapi, menjadikannya lebih kontekstual dan mudah diterima masyarakat. Hani menambahkan bahwa perspektif Timur maupun lokal memang kerap menjadi bagian penting dalam perawatan mental holistik.
Keseluruhan diskusi menunjukkan bahwa menjaga kesehatan mental di era digital bukan sekadar soal teori psikologi modern, melainkan soal keberanian untuk sadar, kolaborasi lintas bidang, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Mindfulness dan DBT bukan hanya metode terapi, tetapi cara untuk membangun ruang batin yang tenang di tengah dunia yang riuh. Pesan ini ditegaskan kembali oleh Santi di penghujung acara: menjaga kesehatan mental adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya milik tenaga ahli, tetapi juga masyarakat, komunitas, dan diri kita sendiri.
Reporter: Vina Yulia Anhar, SKM, MPH